English is "Monster" |
Ucup terbilang anak
periang yang penuh semangat. Seperti anak-anak pada umumnya, Ucup sangat suka
pergi ke sekolah. Ia tergolong anak yang pandai di kelas. Namun ternyata anak seperti Ucup pun memiliki
ketakutan juga. Dia memiliki “phobia”, phobia dalam balajar bahasa inggris.
Segala upaya ia kerahkan agar tidak tampak phobianya itu, mulai dari duduk
paling depan tanpa berani bertemu mata dengan gurunya, hingga berpura-pura
menjadi calm di depan gurunya,
tujuannya agar si guru tidak bertanya-tanya pada dirinya atau disuruh maju ke depan.
Dan ternyata
cara ini sangat efektif , ia kerjakan hal itu dr sekolah dasar hingga kuliah
setiap kali bertemu pelajaran bahasa inggris. Sebenarnya sesekali sempat terfikirkan
olehnya bahwa si guru mungkin mengetahui bahwa dirinya “phobia” entah dari air
muka yang tampak jelas atau sikap calm
yang tidak biasa dalam dirinya saat jam pelajaran tersebut.
Ucup pun tumbuh
menjadi dewasa, kondisi memaksanya untuk bertekad belajar bahasa inggris dengan
baik. Ucup lalu mencoba untuk menghipnosis dirinya secara mendalam. Akhirnya ia
menemukan bahwa hal yang membuat dirinya phobia adalah "ditertawakan".
Yah “ditertawakan”, kali pertama mengenal bahasa inggris ketika duduk di bangku
kelas 5 SD, ia sering ditertawakan oleh guru dan teman-temannya, karena tidak bisa
menyebutkan “logat inggris” secara benar dan itu terus berulang. Pernah suatu
kali ketika ia tidak sengaja berkata "oh my god" dengan mengucapkan
"got( goat: kambing)”, pecah membahanalah seisi kelas karena bahasa
Inggrisnya si Ucup. Ia malu dan sangat
malu. Hingga kepercayaan dirinya hampir runtuh .
Setiap anak dilahirkan
dengan keunikannya masing-masing. Beberapa anak mungkin sangat pandai, tapi
anak yang lain sudah berusaha sangat keras untuk belajar tetapi tetap saja
tidak mengerti. Nah disinilah pentingnya peran si pendamping anak, entah itu orang
tua, guru, kakak, atau ustadz.
Sebagai orang
tua sibuk, yang bahkan mendampinginya belajar saja tidak sempat, jangan sampai
menjadi orang yang malah menjadi penyebab hancurnya kepercayaan diri si anak. Tidak
jarang orang tua atau guru memarahi anak hanya karena nilainya kecil tanpa
bertanya dan mengkonfirmasi terlebih dahulu penyebabnya pada si Anak. Menyindirnya
atau membandingkannya dengan si fulan yang lebih pintar, menjadi kebiasaan
buruk yang sering dilakukan para orang tua atau pendampingnya.
Hargailah setiap
anak sekecil apapun itu. Anak-anak perlu mendapat penghargaan untuk menambahkan
kepercayaan dirinya dan semangatnya. Beberapa orang tua atau guru kadang-kadang
sangat “pelit” memberikan pujian pada anak-anaknya. Entah ini mungkin subjektif
dari Penulis, tapi seorang Ayah biasanya “lebih pelit” untuk memuji anaknya. Padahal
figur dari kemandirian dan keberanian terletak pada sang Ayah. Sedikit kado
kecil untuk menyemangati si Anak perlu sekali-kali diberikan sebagai
penghargaan terhadap kerja kerasnya.
Catatan: Ingatlah,
setiap anak dilahirkan dengan keunikannya masing-masing. Setiap anak tentulah
membutuhkan treatment yang
berbeda-beda. Narasi ini hanyalah sudut kecil perspektif global berdasarkan
pengalaman pribadi Penulis dan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar