Senin, 04 April 2016

اليقين لا يزال بالشّكّ



اليقين لا يزال بالشّكّ
Keyakinan Tidak Dapat Dihapuskan oleh Keraguan




Kaidah-kaidah cabang dari kaidah kedua

1.     اليقين يزال باليقين مثله
Apa yang yakin bisa hilang  karena bukti lain yang meyakinkan pula.
Contoh : kita yakin sudah wudhu, kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka hukum wudhu menjadi batal

2.     أنّ مَا ثَبَتَ بيقينٍ لا يُرْتَفَعُ الّا بيقين
Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi
Contoh : jika seseorang thawaf, kemudian ragu sudah 5x atau 6x, maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima.

3.     الأصل براءة الذمّة
Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab.
Contoh : anak kecil bebas dari kewajiban sampai ia baligh
Tidak ada kewajiban dan hak antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah

4.     الأصل بقاء ما كان على  ماكان مالم يكن ما يغيّره
Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya
Contoh : seperti kasus sebelumnya, unsur yang mengubah kewajiban adalah balighnya anak tersebut, dan adanya akad nikah bagi pria dan wanita

5.     الأصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh: apabila ada sengketa tentang suatu kecacatan pada barang, maka yang dianggap adalah perkataan penjual karena hukum asalnya cacat tersebut tidak ada, kecuali si pembeli dapat membuktikan bahwa cacat itu telah ada selama masih ada di tangan penjual

6.     الأصل إِضَافَةُ الحَادِثِ إلى أقْرَبِ أَو قَاتِهِ
Hukum asal penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya
Contohnya sama seperti diatas, hukum penyandaraan kecacatan barang adalah perkataan penjual bahwa barang cacat di tangan pembeli, karena di tangan pembelilah waktu yang paling dekat dengan terjadinya kecacatan. Sehingga jual beli tidak dapat dibatalkan, kecuali ada bukti yang meyakinkan jika barang tersebut cacat sejak di tangan penjual

7.     الأصل في الأشياءِ الإ باحةُ حتّى يَدُلَّ الدّليلُ على التحْرِيمِ
Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya
Contoh : apabila terdapat hewan yang belum ada dalil tegas mengenai keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.

8.     الأصل في الكلامِ الحقيقةُ
Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya
Contoh : saya ingin mewakafkan tanah itu untuk anak Kyai Ahmad, maka maksud dari ”anak” adalah anak sesungguhnya, bukan anak angkat maupun cucu.



Referensi:
1.      Djazuli, A. 2014. Kaidah-Kaidah Fikih, Hal : 42 – 55. Jakarta: Kencana.
2.      Mudjib, Abdul. 2013. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul Fiqhiyyah), Hal: 19 – 29. Jakarta : Kalam Mulia.

 

القواعد الخمسة : الأمور بمقاصدها




 الأمور بمقاصدها
Segala Perkara Tergantung pada Niatnya







Dasar-dasar kaidah hukum pertama :
وما امروا الّا ليعبدوا اللّه مخلصين له الدين حنفاء (البينة : 5)
Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus

ومن يرد ثواب الدنيا نؤته منها ومن يرد ثواب الأخرة نؤته منها (ال عمران : 145)
Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan padanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan pula pahala akhirat itu.

إنّمأ الأعمال بالنيّات و إنّما لكلّ امرىء ما نوى.......(أخرجه البخارى و مسلم عن عمر إبن الخطاب)
Sesungguhnya segala amal hanyalah menurut niatnya, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang diniatkannya.

Kaidah-kaidah Cabang dari Kaidah Pertama
1.     العبرة في العقود للمقاصد و المعاني لا للأَلْفَاظ و المَبَاني
Yang dianggap dalam akad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafadz-lafadz dan ungkapannya.
Contoh, seorang berkata “saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tetapi saya minta uang satu juta rupiah”, meskipun lafadznya “hibah”, namun dengan adanya permintaan uang, maka akad tersebut bukanlah hibah, melainkan akad jual beli dengan segaal akibatnya.

2.     مَقَاصِدُ اللَفْظِ على نيَّة الّافِظِ
Tujuan dari lafadz sesuai dengan niat orang yang mengucapkannya.
Maksud kata-kata seperti, hibah, nazar, sholat, sedekah,dst harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apakah maksud dari sedekah itu zakat atau sedekah sunnah, dll.

3.     النيّة في اليمين تُخَصِّصُ اللَفْظِ العَام ولا تعمِّمُ الخَاصَ
Niat dalam sumpah mampu mengkhususkan kata yang masih umum, namun (niat) tidak bisa mengubah kata yang bermakna khusus menjadi umum.
Untuk menjelaskan kaidah ini diperluka 2 contoh, yaitu:
a.     تُخَصِّصُ العَام بالنيّة
Seorang bersumpah tidak berbicara dengan siapapun, namun dalam hatinya hanya meniatkan tidak berbicara dengan Zaid. Maka meski lafadz sumpahnya umum, dia tidak dianggap melanggar sumpah jika berbicara dengan selain Zaid, karena niat mampu mengkhususkan kata yang masih umum
b.    تعمِّمُ الخَاصَ بالنيّة
Seorang bersumpah untuk tidak meminum air si Fulan, namun dalam hatinya dia berniat untuk tidak mengambil manfaat apapun dari air tersebut. Maka dia tidak dianggap melanggar sumpah ketika ia menggunakan air tersebut untu mandi karena niatnya tidak dapat membuat lafadz yang khusus menjadi umum.

4.     لَو اخْتَلَفَ اللِسَانُ و القَلْبُ فالمعتبرُ ما في القَلْبِ
Apabila berbeda antara yang diucapkan dan di dalam hati, maka yang dianggap benar adalah apa yang di dalam hati
Contoh: Jika kita niat wudhu, kemudian yang diucapkan untuk mendinginkan badan, maka wudhu tetap sah

5.     لا يَلْزَمُ نِيَةُ العِبَادَةِ في كُلِّ جُزْءٍ إنّما تَلْزِمُ في جُمْلَةٍ ما يَفْعَلُهُ
Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagiannya, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan
Contoh: ketika sholat cukup niat sholat, tidak perlu berniat untuk setiap rukunnya

6.     كُلُّ مُفرِّضَيْنِ فلا تَجْزِيْهِماَ نِيةٌ واحدٌّ إلاّ الحخّ و العُمْرَةِ
Setiap 2 kewajiban tidak boleh dengan 1 niat, kecuali ibadah haji dan umroh

7.     كلّ ما كان له أصْلٌ فلا يَنتَقِلُ عن أصْلِهِ بِمُجَرَّدِ النِّيَة
Setiap perbuatan pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat.
Contoh: seorang niat sholat Dhuhur, kemudian setelah 1 rakaat pindah niat ke sholat tahiyatul masjid, maka batal sholat dhuhurnya.



Referensi:
1.  Djazuli, A. 2014. Kaidah-Kaidah Fikih, Hal : 33 – 42. Jakarta: Kencana.  
2. Mudjib, Abdul. 2013. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul Fiqhiyyah), Hal: 10 – 19. Jakarta : Kalam Mulia.

Followers

Flickr Gallery

Follow The Author