Bagan Manthuq |
A. Manthuq
Manthuq adalah hal yang
ditunjukan oleh lafaz pada saat diucapkan sesuai huruf yang dikeluarkan
Manthuq terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
· Lafaz yang tidak memiliki
kemungkinan lebih dari satu arti atau disebut nash
ۗ
كَامِلَةٌ عَشَرَةٌ تِلْكَ ۗ رَجَعْتُمْ إِذَا وَسَبْعَةٍ الْحَجِّ فِي
أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ
“Maka (waijib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari ketika kamu telah pulang kembali, Itulah sepuluh (hari) yaitu sempurna...”
(Al-Baqarah : 196)
Pensifatan
“sepuluh” dengan kata “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini
diartikan lain secara majaz. Inilah yang dimaksud dengan nash.
· Lafaz yang memiliki kemungkinan
lebih dari satu arti, terbagi menjadi dua bagian, yaitu
o Zahir yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu makna yang
segera difahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang
lemah.
عَاد وَلَا بَاغٍ غَيْرَ ضْطُرَّ فَمَنِ.....
“Maka barangsiapa yang
berada dalam kondisi darurat, maka (tidak mengapa) selama tidak berlebihan dan
melampaui batas.” (Al-Baqarah : 173)
Lafadz
“baaghin” makna marjuhnya adalah “al-Jahil” (bodoh, tidak tahu) dan makna
yang lebih rajih adalah “az-dzalim”
(melampaui batas), tetapi kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih
umum digunakan.
o Mu’awwal yaitu lafaz yang diartikan dengan makna
marjuh (lemah) karena ada sesuatu dalil yang menghalangi pemaknaannya dari
makna yang rajih
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ ….
“….dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh
kasih sayang.”(Al-Isra:24)
Lafadz “Janah adz-dzulli “ secara rajih berarti sayap,
namun diartikan dengan makna marjuhnya
yang berarti ” tunduk, tawadhu ‘dan bergaul secara baik” dengan kedua orangtua,
tidak diartikan “sayap” karena mustahil manusia mempunyai sayap.
B. Mafhum
Bagan Mafhum |
Mafhum adalah makna yang ditunjukkan
oleh lafaz, tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.
Mafhum juga terbagi menjadi
dua bagian, yaitu :
·
Mafhum Muwafaqah adalah makna yang hukumnya selaras dengan manthuqnya.
Mafhum Muwafaqah terbagi menjadi dua
yaitu :
o Fahwal Khitab adalah makna mafhum lebih utama diambil hukumnya
daripada manthuqnya
“maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan
janganlah kamu membentak mereka” (Al-Isra: 23)
Mafhumnya
lebih utama diambil yaitu kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang)
apalagi memukulnya.
o Lahnul Khitab
adalah
makna mafhum sama nilai
hukumnya dengan manthuq
“sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu
menelan api dikedalam perutnya (An-Nisa :10)
Mafhumnya
adalah membakar atau setiap cara menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya
dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang atau haram.
·
Mafhum Mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya dengan manthuq, hal yang dipahami
selalu kebalikan dari lafaz manthuqnya.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi 4
yaitu :
o Mafhum sifat adalah menggantungkan
hukum dengan salah satu sifat.
“...hendaklah
ia (yang membunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (Qs.
An-Nisa:92)
Mafhumnya
adalah jika hamba sahaya yang dimerdekakan itu bukan termasuk orang beriman,
maka tidak diperbolehkan.
o Mafhum Syarat adalah menggantungkan
hukum dengan syaratnya.
“dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya.” (At-Thalaq :6)
mafhumnya
adalah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.
o
Mafhum
ghayah (batas maksimal)
“kemudian
suami mentalaknya (sesudah talak kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...” (Al-Baqarah: 230)
mafhumnya
adalah istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia menikah dengan suami
yang lain, dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.
o Mafhum
hashr (pembatasan)
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”
(Al-Fatihah :5)
mafhumnya
adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan.
Referensi :
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, hal: 311 – 317). Jakarta:
Pustaka Alkautsar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar