Jumat, 01 Januari 2016

MANTHUQ DAN MAFHUM

Bagan Manthuq



A. Manthuq
Manthuq adalah hal yang ditunjukan oleh lafaz pada saat diucapkan sesuai huruf yang dikeluarkan
Manthuq terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

·      Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti atau disebut nash
ۗ كَامِلَةٌ عَشَرَةٌ تِلْكَ ۗ رَجَعْتُمْ إِذَا وَسَبْعَةٍ الْحَجِّ فِي أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ
Maka (waijib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari ketika kamu telah pulang kembali, Itulah sepuluh (hari) yaitu sempurna...” (Al-Baqarah : 196)
Pensifatan “sepuluh” dengan kata “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majaz. Inilah yang dimaksud dengan nash.

·      Lafaz yang memiliki kemungkinan lebih dari satu arti, terbagi menjadi dua bagian, yaitu

o  Zahir yaitu lafadz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera difahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah.

عَاد وَلَا  بَاغٍ غَيْرَ ضْطُرَّ فَمَنِ.....

Maka barangsiapa yang berada dalam kondisi darurat, maka (tidak mengapa) selama tidak berlebihan dan melampaui batas.” (Al-Baqarah : 173)
Lafadz “baaghin” makna marjuhnya adalah “al-Jahil” (bodoh, tidak tahu) dan makna yang lebih rajih adalah “az-dzalim” (melampaui batas), tetapi kemungkinan arti yang kedua lebih jelas dan lebih umum digunakan.

o  Mu’awwal yaitu lafaz yang diartikan dengan makna marjuh (lemah) karena ada sesuatu dalil yang menghalangi pemaknaannya dari makna yang rajih

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ ….
….dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.”(Al-Isra:24)
Lafadz “Janah adz-dzulli “ secara rajih berarti sayap, namun diartikan  dengan makna marjuhnya yang berarti ” tunduk, tawadhu ‘dan bergaul secara baik” dengan kedua orangtua, tidak diartikan “sayap” karena mustahil manusia mempunyai sayap.


 B.  Mafhum
Bagan Mafhum



Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz, tidak berdasarkan pada bunyi ucapan.
Mafhum juga terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
·      Mafhum Muwafaqah adalah makna yang hukumnya selaras dengan manthuqnya.
Mafhum Muwafaqah terbagi menjadi dua yaitu :

o  Fahwal Khitab adalah makna mafhum lebih utama diambil hukumnya daripada manthuqnya
“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka” (Al-Isra: 23)
Mafhumnya lebih utama diambil yaitu kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.

o  Lahnul Khitab adalah makna mafhum sama nilai hukumnya dengan manthuq
“sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api dikedalam perutnya (An-Nisa :10)
Mafhumnya adalah membakar atau setiap cara menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang atau haram.

·      Mafhum Mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya dengan manthuq, hal yang dipahami selalu kebalikan dari lafaz manthuqnya.
Mafhum mukhalafah terbagi menjadi 4 yaitu :

o  Mafhum sifat adalah menggantungkan hukum dengan salah satu sifat.
“...hendaklah ia (yang membunuh) memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (Qs. An-Nisa:92)
Mafhumnya adalah jika hamba sahaya yang dimerdekakan itu bukan termasuk orang beriman, maka tidak diperbolehkan.

o  Mafhum Syarat adalah menggantungkan hukum dengan syaratnya.
“dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya.” (At-Thalaq :6)
mafhumnya adalah istri yang dicerai tetapi tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.

o  Mafhum ghayah (batas maksimal)
“kemudian suami mentalaknya (sesudah talak kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain...” (Al-Baqarah: 230)
mafhumnya adalah istri tersebut halal bagi suami pertama sesudah ia menikah dengan suami yang lain, dengan memenuhi syarat-syarat pernikahan.

o  Mafhum hashr (pembatasan)
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (Al-Fatihah :5)
mafhumnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan.


Referensi : 
Al-Qaththan, Syaikh Manna. 2013. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, hal: 311 – 317).  Jakarta: Pustaka Alkautsar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Flickr Gallery

Follow The Author