|
Q.S. AT-TAWBAH: 113 - 115 (2) |
أَنَّهُمْ لَهُمْ تَبَيَّنَ مَا بَعْدِ مِنْ قُرْبَىٰأُولِي كَانُوا وَلَوْ لِلْمُشْرِكِينَ يَسْتَغْفِرُوا أَنْ آمَنُوا وَالَّذِينَ لِلنَّبِيِّ كَانَ مَا
أَنَّهُ لَهُ تَبَيَّنَ فَلَمَّا إِيَّاهُ وَعَدَهَا مَوْعِدَةٍ عَنْ إِلَّا لِأَبِيهِ إِبْرَاهِيمَ اسْتِغْفَارُ كَانَ وَمَا (١١٣) الْجَحِيمِ أَصْحَابُ
يُبَيِّنَ حَتَّىٰ هَدَاهُمْ إِذْ بَعْدَ قَوْمًا لِيُضِلَّ اللَّهُ كَانَ وَمَا (١١٤) حَلِيمٌ لَأَوَّاهٌ إِبْرَاهِيمَ إِنَّ ۚمِنْهُ تَبَرَّأَ لِلَّهِ عَدُوٌّ
(١١٥) عَلِيمٌ شَيْءٍ بِكُلِّ اللَّهَ إِنَّ ۚ يَتَّقُونَ مَا لَهُمْ
Artinya:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (113) Dan
permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah
karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala
jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas
diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun. (114) Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan
suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga
dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (115)
POKOK
KANDUNGAN AYAT
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah)bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah
jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahannam, Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya,
tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya
itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah,
maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi penyantun. Dan Allah sekali-kali tidak akan
menyesatkan suatu kaum, sesudahnya Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga
dijelaskan Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Tampaknya,
sebagian kaum Muslimin memintakan ampunan kepada Allah untuk bapak-bapak mereka
yang musyrik dan meminta kepada Rasulullah SAW untuk memohonkan ampunan kepada
Nya bagi mereka. Kemudian ayat-ayat ini turun menetapkan bahwa permohonan
ampunan ini menandakan masih adanya sisa keterikatan dengan hubungan kerabat
berdasarkan darah bukan ikatan hubungan karena Allah. Karena itu, tidak layak
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman melakukan hal tersebut. Secara pasti
mereka tidak pantas melakukannya dan tidak termasuk sifat sifat mereka sama
sekali.
Adapun
bagaimana mereka mendapat kejelasan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan mereka itu termasuk penghuni neraka Jahim, maka menurut
pendapat yang paling kuat itu diketahui melalui kematian mereka dalam keadaan
musyrik, dan terputusnya harapan mereka untuk mendapat hidayah kepada keimanan.
Akidah
adalah ikatan terbesar. Di dalamnya semua ikatan dan hubungan kemanusiaan
bertemu. Apabila ikatan akidah terputus, maka terputus pula semua ikatan lain
secara total, sehingga sesudah itu tidak ada lagi pertemuan dalam nasab,
sesudah itu tidak ada lagi pertemuan dalam perkawinan, sesudah itu tidak ada
lagi pertemuan dalam kebangsaan, dan sesudah itu tidak ada lagi pertemuan dalam
tanah air. Hanya ada dua pilihan : Beriman kepada Allah, lalu ikatan terbesar
itu tersambung dan semua ikatan lainnya bersumber darinya dan bertemu
dengannya. Atau tidak beriman,sehingga dengan demikian tidak ada lagi hubungan
antara seseorang dengan orang lain.
Ketika Nabi Ibrahim berdoa
memintakan ampunan untuk bapaknya sebagaimana
dalam Surat Asy-Syu’ara:86, “Dan ampunillah bapakku, karena sesungguhnya
ia termasuk golongan orang-orang yang sesat”. Maksud dari ayat ini adalah
berilah taufik/hidayah sehingga bapaknya Nabi Ibrahim beriman.
Maka hal itu tak lain karena
janji yang telah disampaikan kepada bapaknya, mudah-mudahan Dia berkenan
memberi petunjuk kepadanya, sebagaimana yg dijelaskan Firman Nya : “Berkata
Ibrahim, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun
bagimu kepada Rabbku. (QS Maryam:47-48).
Nabi
Ibrahim melakukan ini karena sifatnya yang pengiba lagi penyabar sebagaimana
dimaksud pada akhir ayat 114, “……Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang
sangat lembut hatinya lagi penyantun.”
Yakni sangat merendah kepada
Allah dan sangat penyantun kepada orang yang pernah menyakitinya. Bapaknya
sendiri kerap menyakitinya, namun beliau tetap bersikap santun kepadanya.
Setelah tampak jelas bahwa bapaknya menjadi musuh Allah, maka ia berlepas diri
darinya dan kembali kepada Allah dengan merendahkan diri..
Ada
riwayat yang menerangkan bahwa ketika kedua ayat diatas turun, orang-orang yang
biasa memintakan ampunan untuk bapaknya yang masih musyrik merasa khawatir
telah sesat karena menyalahi perintah Allah dalam masalah ini. Kemudian ayat
selanjutnya turun menenangkan mereka dari kekhawatiran ini, dan menetapkan
kaidah Islamiyah: bahwa tidak ada sanksi hukum tanpa nash, dan tidak ada
kesalahan tanpa didahului tentang perbuatan tersebut.
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan Nya kepada mereka apa yang harus
mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(115)
Allah
tidak menghisab perbuatan manusia, kecuali berdasarkan sesuatu yang telah
dijelaskan Nya kepada mereka agar mereka menjauhinya, mewaspadaimya dan tidak
melakukannya. Allah tidak pernah mencabut petunjuk yang ada pada suatu kaum
setelah diberiNya petunjuk, lalu membiarkan mereka sesat karena semata-mata
perbuatan yang belum dijelaskan kedudukan hukumnya. Hal itu karena manusia
sangat terbatas pengetahuannya, sedangkan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dari Nya datang penjelasan dan pengajaran.
Allah
menjadikan agama ini mudah tidak sulit. Dia menjelaskan apa saja yang dilarang
Nya dengan keterangan yang jelas dan gamblang, sebagaimana Dia menjelaskan apa
saja yang diperintahkan Nya dengan keterangan yang jelas. Disisi lain, Dia
mendiamkan banyak hal tidak menjelaskannya dengan tegas bukan karena lupa,
namun karena hikmah dan untuk mempermudah dan Dia larang hambaNya menanyakan
sesuatu yang didiamkan Nya, agar pertanyaan tersebut tidak mengundang
kesulitan. Oleh karena itu, tak seorang pun berwenang mengharamkan sesuatu yang
didiamkan dan tak seorangpun berhak melarang orang lain dari melakukan sesutau
yang tidak dijelaskan oleh Allah. Hal ini demi mewujudkan rahmat Allah kepada
hamba-hambaNya.
SIMPULAN
1.
Apabila Nabi dan orang-orang mukmin telah
mendapat bukti dan keterangan yang jelas tentang orang-orang musyrik dan
tentang hukum-hukum Allah mengenai mereka, maka Nabi dan orang-orang mukmin
tidak diperbolehkan memohonkan ampunan untuk mereka, walaupun merupakan kerabat
dan saudara yang disayangi.
2.
Nabi Ibrahim tidaklah dianggap bersalah
ketika ia memohonkan ampun untuk bapaknya karena hal itu dilakukan hanya untuk
menepati janjinya dan ia belum mendapatkan keterangan dan bukti-bukti yang
nyata tentang keadaannya.
3.
Karena Nabi Ibrahim adalah orang yang sangat
taqwa dan taat kepada Allah SWT, maka ia segera berlepas diri dan menghentikan
doanya setelah mendapat keterangan dan bukti yang jelas bahwa bapaknya
benar-benar seorang yang musyrik dan memusuhi Allah.
4.
Suatu kaum yang telah memperoleh petunjuk
dari Allah, jika melakukan kesalahan, baik dalam bentuk perkataan maupun
perbuatan akibat kesalahan ijtihad, maka Allah tidak akan menganggap mereka
sesat hingga mereka memperoleh keterangan dan penjelasan tentang hukum-hukum
Allah.
DURUS
TARBAWI
1.
Tidak memohonkan ampun kepada Allah atas
orang-orang yang musyrik yang telah jelas dan terang-terangan memusuhi Allah.
2.
Menjadikan kecintaan pada Allah hal yang
utama di atas kecintaan pada apapun termasuk kecintaan pada kerabat dan
saudara.
3.
Perlunya mempelajari dan memahami nash
(Al-Qur’an dan Hadits) dengan sempurna agar tidak melakukan kesalahan ijtihad
akibat tergoda oleh nafsu.
4.
Allah tidak menghisab perbuatan manusia,
kecuali berdasarkan sesuatu yang telah dijelaskanNya kepada mereka agar mereka
menjauhinya, mewaspadaimya, dan tidak melakukannya.
Maroji':
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi Juzu’ XI (Hal. 60-68). Diterjemahkan oleh Bahrun
Abu Bakar, Hery Noer Aly, dan Anshori Umar Sitanggal. Semarang: CV. Toha Putra.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim (Hamka). 1983. Tafsir Al Azhar Juzu’ XI (Hal. 62-69).
Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2000. Taisiru al-Aliyyul Qadir li-Ikhtisari. Diterjemahkan oleh
Syihabuddin dengan judul Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2. Jakarta: Gema
Insani Press.
Gani, H. Bustami A. 1995. Al-Qur’an dan Tafsirnya (Hal. 261-268). Yogyakarta: Departemen
Agama Republik Indonesia.
Quthb, Sayyid. 1982. Fi-Zhilalil
Qur’an. Diterjemahkan oleh M. Misbah dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid dengan
judul Fi-Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an. Jilid 6 (Hal. 431-461).